a

Krisis Batu Bara Penanda segera Masuk EBT

Krisis Batu Bara Penanda segera Masuk EBT

JAKARTA (6 Januari): Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mendorong pemerintah meningkatkan ketahanan energi nasional berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk mengantisipasi fluktuasi harga batu bara di pasaran.

Legislator NasDem itu mengatakan, krisis batu bara untuk kebutuhan dalam negeri menjadi pengingat bahwa energi fosil sangat rentan.

“Maka kita perlu masuk energi baru dan terbarukan, terlebih memang semakin terbatas fosil ini, pasti fluktuatif dalam supply and demand. Kalau tidak imbang, pasti akan terjadi disparitas harga, ada distorsi,” kata Sugeng, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/1).

Krisis pasokan batu bara yang dialami PLN, kata Sugeng, menjadi pengingat terkait pentingnya sosialisasi dan mitigasi penerapan energi bersih di Indonesia.

Menurut Sugeng, kebijakan larangan ekspor komoditas batu bara yang diberlakukan pemerintah hingga akhir Januari 2022, membuktikan adanya kesalahan dalam tata kelola sumber daya alam.

Ia juga memandang kebijakan itu sekaligus menjadi kritik terhadap semua pihak, baik pemerintah selaku pembuat regulasi, PLN maupun perusahaan batu bara.

“Kalau semuanya strict terhadap Pasal 33 UUD 45, semestinya tidak boleh terjadi keputusan ini. Akhirnya semua dirugikan. Satu pihak karena ketidakpatuhan penambang batu bara memenuhi DMO (Domestic Market Obligation) disebabkan adanya disparitas harga yang sangat jauh dengan internasional,” ujar Sugeng.

Pemerintah, kata Sugeng harus mempersiapkan rentang harga untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau DMO yang dinamis guna mengantisipasi fluktuasi harga batu bara.

Sugeng juga mengamini adanya peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN bila harga batu bara naik.

“Ada pintu lain, maka ada namanya pajak ekspor batu bara, apabila melampaui harga DMO, maka dinaikkan pajak ekspor,” ujarnya.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah VIII (Kabupaten Cilacap dan Banyumas) itu menyarankan, pemerintah menggenjot kapasitas PT Bukit Asam sebagai perusahaan pelat merah penyedia kebutuhan primer.

Di sisi lain, kewajiban DMO oleh swasta harus diawasi dengan reward and punishment. Pemerintah harus memberikan kemudahan bagi perusahaan batu bara yang memenuhi kewajiban itu.

“Beberapa perusahaan memenuhi DMO 25 persen. Sementara, sebagian memilih membayar denda yang hanya tiga dolar AS per ton. Moral hazard pengusaha batu bara seharusnya juga ada. Efeknya ke semua pengusaha, bagi perusahaan batu bara yang komitmen terhadap ekspor, pasti akan ada penalti akibat larangan dari pemerintah saat ini, tetapi ada hal lain yang jauh lebih penting yaitu kepentingan nasional,” urainya.

Sugeng mengakui batu bara masih menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara bukan pajak, namun ada risiko dengan semakin terbatasnya ketersediaan. Apalagi saat ini Indonesia telah menandatangani Perjanjian Paris dan meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

“Hal ini menjadi dasar bahwa energi baru terbarukan sebuah keharusan dilakukan mitigasi. Kalau tidak, kita mengalami turbulensi,” tukasnya.

(RO/*)

Add Comment