a

Pertarungan Politik dalam Pemilu Serentak 2019

Pertarungan Politik dalam Pemilu Serentak 2019

Oleh Wawan Darmawan

Kurang dari setahun lagi, tepatnya 17 April 2019, bangsa ini akan menghelat Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Serentak.

Dalam sejarah politik elektoral negeri ini, Pileg dan Pilpres Serentak Tahun 2019 merupakan peristiwa politik paling bersejarah.

Pasalnya, bukan hanya berbeda dengan Pileg dan Pilpres sebelumnya, tetapi juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, Pileg dan Pilpres  2019 dihelat serentak alias bersamaan waktunya.

Jika pileg sebelumnya dihelat sebelum dan akan memengaruhi kontestasi Pilpres, maka tahun 2019, dua kontestasi itu justru akan saling memengaruhi satu sama lain.

Oleh karena itu, bukan hanya meriah, tetapi juga diduga, tegangan politik di sekitar Pileg dan Pilpres Serentak mendatang akan ‘keras’. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kontestasi politik tersebut dapat menimbulkan efek ganda. Di satu pihak melipatgandakan kedaulatan rakyat, sedangkan pada pihak lain, mengancam kerukunan dan persatuan serta kemajuan nasional. Paling tidak menaikkan ketegangan politik, khususnya di level masyarakat.

Tidak heran “bentrokan massa” baik yang pro dengan tagar atau slogan #2019gantipresiden dengan golongan masyarakat yang mendukung Presiden Jokowi dengan tagar #2019Jokowiduaperide kerap terjadi. Lebih-lebih jika ada yang memprovokasi baik dalam bentuk kegiatan diskusi, pengajian atau dakwah maupun sengaja mengumpulkan massa dalam bentuk pernyataan dukungan.

Pertarungan politik tanda-tanda ancaman terhadap kerukunan dan persatuan serta kemajuan nasional sudah terasa ketika sejumlah politisi dan pengamat menggunakan istilah ‘pertarungan politik’ dalam memaknai Pileg dan Pilpres Serentak mendatang. Alih-alih pertarungan menjaga kerukunan dan persatuan serta kemajuan nasional, istilah ‘pertarungan politik’ dimaksud justru pertarungan berebut kekuasaan. Yaitu kekuasaan kursi baik yang ada di lembaga legislatif maupun yang berada di eksekutif, yaitu pemilihan kursi dan pasangan presiden/wakil presiden.

Sebagaimana pertandingan olah raga, kontestasi politik memang lumrah diberi metafor pertarungan, sebab para politisi bertarung atau – lebih tepatnya – berkompetisi memenangkan kontestasi. Bukan fisik, namun pertarungan dalam menjajakan visi, misi, dan program kerja serta merayu para pemilih, sehingga ‘kursi kekuasaan’ dapat ‘diduduki’ secara konstitusional.

Kendati begitu, sebagaimana pertandingan olah raga, kontestasi politik yang diberi metafor pertarungan acap dimaknai pertarungan dalam pengertian sesungguhnya. Apabila dalam pertandingan olah raga dapat terjadi pelanggaran, maka dalam kontestasi politik pun bisa terjadi. Jika dalam pertandingan olah raga bisa terjadi kerusuhan dan kekacauan, demikian pula dalam kontestasi politik.

Sebagai kontestasi politik apalagi diberi metafor pertarungan, Pileg dan Pilpres Serentak jelas tidaklah bebas dari ancaman konflik dan perpecahan. Sebab, jika para petarung politik menghalalkan segala cara dan mengabaikan visi kerukunan dan persatuan serta kemajuan nasional, bukan mustahil pertarungan Pileg dan Pilpres Serentak berakibat disintegrasi nasional.

Jika itu yang terjadi, maka bukannya berefek kebaikan, Pileg dan Pilpres Serentak malah menimbulkan keburukan. Artinya, bukan mustahil, kontestasi ini justru menjadi pintu masuk bagi disintegrasi bangsa. Lebih-lebih jika letupan bentrokan kepentingan ini lalu dibumbui dengan isu-isu SARA yang amat sensitif bisa menimbulkan kemarahan massa. Kalau begitu, apakah tidak sebaiknya Pileg dan Pilpres Serentak ditangguhkan bahkan ditiadakan saja? Tentu saja tidak, karena bukan soal Pileg dan Pilpres serentaknya yang menjadi penyebab terjadinya disintegrasi bangsa. Tentu saja opsi menghentikan kedua pemilu serentak tersebut tak akan dipilih. Sebab, arus kebijakan dan alam pemikiran para politisi di negeri ini sudah sesuai dengan UU. 

Pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang dilakukan serentak, paling tidak manfaatnya adalah pertama, efesiensi anggaran negara. Kedua pemilu tersebut jelas membutuhkan dana yang besar. Dengan digabungkan maka dana negara berhasil dihemat.

Kedua, mengeliminasi konlfik-konflik politik yang diakibatkan terlalu ada jeda dan seringnya dilaksanakan pemilu dengan jeda waktu yang berbeda. Ketegangan-ketegangan politik di antara elite politik dan masyarakat, tentu saja bisa tereliminasi karena berhasil dilewati dalam satu momentum yang sama. 

Ketiga, pemilu serentak menciptakan persatuan dan kesatuan seluruh bangsa. Momentum ini menjadi bagian bagaimana masyarakat di satu golongan pemilih bersatu dengan pilihannya baik untuk pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif. Setelah pemilu selesai, diharapkan masyarakat akan cair kembali dan bersatu serta menerima apa pun hasil yang diperolehnya nanti.

Jika demikian pilihannya, maka dua hal ini perlu dimengerti dan dijunjung tinggi oleh para elite dan masyarakat politik dalam menghadapi pemilu serentak ini.

Kesatu, menjunjung tinggi etika dan menjaga pranata politik oileg dan pilpres. Kedua, memperkaya arti pertarungan politik dari berebut kekuasaan saja menjadi kompetisi memenangkan kekuasaan plus pertarungan untuk menjaga persatuan dan memajukan nasional.

Kedua, menjunjung tinggi etika politik pileg dan pilpres adalah tanggung jawab dan tugas masyarakat, terutama para politisi. Alih-alih kemenangan politik kekuasaan semata-mata, etika politik yang mesti dijunjung tinggi oleh masyarakat terutama oleh para politisi dalam konteks ini ialah perilaku politik yang berakhlak mulia, baik dalam berkompetisi maupun dalam menggunakan kekuasaan.

Selain itu, pranata politik pileg dan pilpres pun harus dijaga masyarakat terutama para politisi. Pranata politik yang dimaksud ialah aturan dan perangkat penyelenggaraan pileg dan pilpres. Selain para caleg dan capres dan cawapres, terdapat pula elemen KPU dan Bawaslu. Seluruh elemen ini dapat bekerja sesuai tugasnya masing-masing demi kesuksesan Pileg dan Pilpres Serentak.

Ketiga, memperkaya arti pertarungan politik dari sekadar memperebutkan kekuasaan menjadi kompetisi memenangkan kekuasaan plus menjaga persatuan dan memajukan nasional. Artinya, bukan pertarungan memperebutkan kekuasaan belaka, melainkan metafor pertarungan politik harus diperkaya dengan makna pertarungan menjaga persatuan dan memajukan nasional.

Sulit dimungkiri, selain hendak mengesankan kegairahan, kontestasi Pileg dan Pilpres Serentak pun hendak dikesankan spartan.(ketegaran). Oleh sebab itu, sebagian pihak menggunakan metafor pertarungan terhadap kontestasi politik ini. Sayangnya, istilah yang terkesan menggairahkan dan spartan itu seolah-olah tidak berlaku pada usaha menjaga persatuan dan memajukan nasional.

Akibatnya, kontestasi politik yang terjadi terkesan ramai, namun gersang. Sebab, yang berlangsung malah pertarungan berebut kekuasaan dan memuakkan karena tidak jarang mengabaikan persatuan dan kemajuan nasional. Seolah-olah mewujudkan persatuan terutama kemajuan nasional bukan prioritas politik dan tidak menggairahkan dan tidak spartan.

Padahal, menjaga persatuan dan memajukan nasional jauh lebih heroik, lebih serius, lebih dewasa, lebih menggairahkan, dan lebih spartan dibanding berebut kekuasaan semata. 

Semoga menghadapi pemilu serentak ini kita hadapi dengan dewasa. Mari bersaing secara positif dalam bentuk perang gagasan, program dan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat. Mari hindari pernyataan provokasi dan menggunakan isu-isu tertentu, misalnya isu sara dengan tujuan untuk memprovokasi emosi massa dan menyebarkan hoaks atau fitnah.

Masyarakat sudah cerdas mana informasi yang  benar dan bisa menentukan pilihan secara rasional berdasarkan nalarnya. Amien.

Penulis adalah Ketua Partai NasDem Kabupaten Majelengka, mantan aktivis 1998 di Kota Bandung.

Add Comment