Rakernas NasDem 2022: Upaya NasDem Mendorong Meritokrasi Politik, Bukan Dinasti Politik

Getting your Trinity Audio player ready...

Oleh: Andreas Ambesa

Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI/Korinbang

 

Mencari calon pemimpin yang berkualitas dan mumpuni itu bukanlah semudah membuka telapak tangan. Prosesnya panjang dan harus penuh kehati-hatian. Hal inilah terlihat ketika Partai NasDem mengumumkan tiga nama bakal calon presiden yang diumumkan Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem, Surya Paloh, dalam penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada Jumat (17/6) lalu.

Rakernas NasDem 2022 adalah proses awal dimulainya regenerasi calon pemimpin internal partai dan juga suatu proses dalam menyiapkan calon pemimpin nasional mendatang yang berasal dari internal Partai NasDem.

Proses ini harus benar-benar dimanfaatkan para kader NasDem untuk menunjukkan kualitas dan integritas masing-masing agar suatu saat pemimpin-pemimpin nasional di masa mendatang di republik tercinta ini berasal dari internal Partai NasDem.

Tahapan proses ini sudah terlihat jelas dari keinginan perwakilan dari 34 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) se-Indonesia Partai NasDem dengan adanya calon presiden 2024 berasal dari internal partai. Kita sebut saja nama-nama seperti Rachmat Gobel, Prananda Paloh, Lestari Moerdijat, Ahmad Ali, hingga Syahrul Yasin Limpo adalah yang paling banyak disebut untuk dicalonkan sebagai capres mendatang dari internal partai.

Walaupun pada akhirnya ketum mengumumkan capres dari Partai NasDem adalah: Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo, bukan artinya menutup peluang capres dari internal partai. Namun justru memberikan dorongan agar mempersiapkan diri mulai sekarang, karena waktu masih panjang dan banyak kesempatan untuk mempersiapkan diri meningkatkan integritas dan kapabilitas masing-masing. Jika tidak untuk 2024, masih ada lima tahun berikutnya dan seterusnya.

Proses yang dilakukan Ketum Surya Paloh untuk mencari dan mendapatkan generasi penerus internal partai dan calon pemimpin nasional yang berbobot, berprestasi dan berdedikasi itu adalah dalam upaya mendorong meritokrasi politik.

Surya Paloh tidak sedang dalam mempersiapkan membentuk dinasti politik di internal partai. Walaupun hal itu bisa ia lakukan. Namun itu bukan tujuannya. Walaupun toh dimanapun di dunia ini termasuk di Indonesia dinasti politik itu tidak dilarang dan sah – sah saja.

Inti dari rencana besar regenerasi di Partai NasDem adalah bagaimana mencari kader – kader yang berprestasi dan memiliki kemampuan yang banyak memberikan manfaat bagi partai baik dari segi loyalitas, profesionalitas, kinerja, dan prestasi bukan berdasarkan koneksinya dalam partai.

Inilah yang disebut meritokrasi politik. Sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan untuk meraih suatu jabatan tertentu baik dalam partai maupun pemerintahan.

Hal ini juga dipertegas dengan pernyataan Ketua DPP NasDem Willy Aditiya yang menyatakan kekuatan NasDem terletak pada caleg, bukan pada elektabilitas partai. Ia menegaskan kekuatan NasDem terletak pada individunya.

Meritokrasi politik telah berlangsung ratusan lampau bahkan telah diaplikasi sejak zaman dinasti Utsmani dimana ketika itu telah dilakukan seleksi ketat orang-orang pilihan dalam upaya menaklukkan Eropa.

Contoh lain adalah meritokrasi Jepang yang telah ada sejak restorasi Meiji. Ketika itu pemimpin Jepang melihat perlunya memberikan beasiswa ke luar negeri bagi siswa yang berprestasi agar dapat berlangsungnya regenerasi kepemimpinan pada masa berikutnya di negeri matahari tersebut.

Dari negeri jiran Singapura meritokrasi politik tengah berlangsung dengan mempersiapkan tongkat estafet kepemimpinan dari Perdana Menteri Lee Hsien Loong kepada generasi berikutnya yang disebut generasi keempat (4G).

PM Lee Hsien Loong, Senin (6/6) lalu menunjuk Menteri Keuangan, Lawrence Wong, sebagai wakil perdana menteri yang baru, dan merupakan rangkaian persiapan regenerasi kepemimpinan mendatang.

Salah satu  yang membuat kembalinya Mahathir Mohamad mencalonkan dirinya sebagai Perdana Menteri Malaysia dan memenangkan pemilu Mei 2018 adalah gagalnya meritokrasi politik di negeri itu. Kekecewaan Mahathir adalah ternyata para calon yang ia gadang-gadang sebagai calon pemimpin mendatang Malaysia, tidak memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang berintegritas tinggi.

 

Meritokrasi politik di Indonesia

Indonesia tercatat pernah menerapkan meritokrasi politik di era pemerintahan Sutan Sjahrir (1945-1947). Ketika itu menerapkan sistem meritokrasi dalam memilih menteri-menteri yang ahli dan berkualitas di bidangnya.

Bahkan dalam kabinet Ir Juanda (1957-1959), beliau menerapkan meritokrasi melalui Zaken Cabinet.

Ketika menjabat sebagai presiden Republik Indonesia ketiga menggantikan presiden Soeharto yang mengundurkan diri, presiden B.J. Habibie pernah berusaha menerapkan pola dan sistem yang mengarah kepada meritokrasi dalam pemerintahan Indonesia.

Kita masih ingat ketika mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, yang tampil sebagai keynote speaker dalam kuliah umum di Rakernas NasDem, Jumat (17/6) lalu, beliau mengatakan rakyat harus jeli memilih calon pemimpin negara dengan melihat rekam jejak yang dimilikinya.

Menurut Mahathir rekam jejak ini sangat penting karena nantinya jika si calon pemimpin terpilih ia harus memahami kebutuhan masyarakat dan harus memiliki empati.

Ini jelas tergambar bahwa mencari pemimpin bangsa kita harus jeli dan teliti terhadap track record yang dimilikinya. Melalui apa? Salah satunya adalah meritokrasi politik. Jika Partai NasDem serius ingin para kader internal muncul di permukaan percaturan nasional maka meritokrasi politik harus dimulai sekarang.

Meritokrasi politik adalah upaya kepada mencari orang-orang yang berprestasi dan memiliki kemampuan yang banyak memberikan manfaat baik kepada partai maupun bangsa dan negara.

Namun, bukan berarti dengan sistem meritokrasi politik ini tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak berprestasi dan berpendidikan cukup untuk memimpin partai maupun menjadi calon pemimpin nasional mendatang. Lebih baik kita menyiapkan dari sekarang daripada kita lambat melakukan regenerasi kepemimpinan partai atau tidak melakukan sama sekali.

 

Add Comment