a

Pemerintah Mesti Hati-Hati Terapkan Kebijakan BBM Bersubsidi

Pemerintah Mesti Hati-Hati Terapkan Kebijakan BBM Bersubsidi

JAKARTA (16 Agustus): Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, pemerintah harus memperhatikan beberapa hal dalam menerapkan kebijakan BBM bersubsidi. Di antaranya, daya beli masyarakat, kesinambungan APBN, dan kesehatan keuangan Pertamina.

“Daya beli masyarakat harus dijaga. Kita harus berempati kepada masyarakat bawah. Pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2022 sudah bagus, tumbuh 5,44% (yoy). Nah, sekitar 56% nya disumbang konsumsi rumah tangga. Kalau inflasi naik gara-gara kebijakan BBM, konsumsi rumah tangga akan tergerus, pertumbuhan ekonomi juga akan ikut tergerus,” ujar Sugeng, Senin (15/8).

Legislator NasDem itu menjelaskan, APBN Indonesia dihadapkan pada dilema akibat melambungnya harga Crude Palm Oil (CPO) dan depresiasi rupiah. Indonesian Crude Price (ICP) yang dalam APBN 2022 diasumikan US$63 per barel, dalam delapan bulan terakhir rata-rata sudah US$100 per barel. Sedangkan, nilai tukar rupiah sudah Rp14.700-14.900 per dolar AS dibanding asumsi sebesar Rp14.350 per dolar AS.

Menurut Legislator NasDem itu, hal tersebut mengakibatkan besaran subsidi berubah total, apalagi konsumsi BBM bersubsidi melonjak sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat. Sampai akhir tahun 2022, konsumsi Pertalite diperkirakan melonjak menjadi 29 juta kl, padahal kuotanya hanya 23 juta kl.

Hasilnya, total subsidi energi untuk Pertalite, solar subsidi, LPG 3 kg, dan listrik membengkak dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Angka tersebut, menurut Sugeng, diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp677 triliun sampai akhir tahun 2022 jika tidak ada langkah penghematan atau pembatasan.

“Masalahnya, subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Sekitar 80% BBM bersubsidi, terutama Pertalite, justru dinikmati orang-orang mampu. Mereka adalah para pemilik mobil yang kapasitas tangkinya 40-60 liter per mobil, dibanding sepeda motor yang cuma 5-10 liter. Bahkan, orang miskin tak membeli Pertalite atau solar subsidi, apalagi Pertamax, karena mereka tak punya kendaraan bermotor,” ujarnya.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah VIII (Kabupaten Cilacap dan Banyumas) itu mengatakan, jika subsidi BBM terus membengkak, APBN tak punya lagi ruang untuk bermanuver guna membiayai program-program yang lebih krusial, seperti pengentasan kemiskinan dan pengangguran, juga pembangunan proyek-proyek infrastruktur strategis.

Dalam kebijakan BBM, imbuh Sugeng, Pertamina juga jangan sampai menjadi korban. Sebab, jika Pertamina limbung, perusahaan pelat merah itu tidak akan mampu menjaga ketahanan energi nasional, termasuk dalam menjamin stok dan distribusi BBM ke seluruh wilayah Tanah Air.

Ia mencontohkan, saat ini Pertamina harus menanggung subsidi Pertalite, solar subsidi, dan LPG 3 kg karena anggaran subsidi dari pemerintah tidak langsung dibayarkan. Bahkan, Pertamax yang sejatinya bukan BBM bersubsidi, dijual Pertamina di bawah harga pasar. Itu membuat keuangan Pertamina terganggu.

Menurut Sugeng, untuk mempertahankan stok aman tiga minggu, Pertamina butuh US$6,7 miliar per bulan atau sekitar Rp100 triliun. Karena itu pemerintah harus membayar dana subsidi dan dana talangan tepat waktu.

“Cost of money dan cost of fundnya terlalu berat bagi Pertamina. Apalagi 60% wilayah kerja migas sudah dilakukan oleh Pertamina. Lifting pun 60% sudah Pertamina,” ujarnya.

Sugeng mengungkap, harga keekonomian solar adalah Rp18.150 per liter, namun Pertamina menjualnya seharga Rp5.150 per liter, selisihnya merupakan subsidi. Adapun Pertalite memiliki harga keekonomian Rp17.200 per liter, tetapi dijual Rp7.650 per liter, atau disubsidi Rp9.550 per liter. Sedangkan harga keekonomian Pertamax yaitu Rp17.950 per liter, namun djual Rp12.500 per liter. Tak terkecuali harga LPG 3 kg.

“Kami menyetujui penambahan volume Pertalite sebanyak 5 juta kl, yaitu dari 23,3 juta kl menjadi 28,3 juta kl. Angka ini pun bisa terlampaui jika tidak ada pembatasan atau penghematan,” pungkasnya.

(dis/*)

Add Comment