a

Mbah Bardi Ingatkan Peran Yogyakarta untuk Kemerdekaan RI

Mbah Bardi Ingatkan Peran Yogyakarta untuk Kemerdekaan RI

YOGYAKARTA (4 Desember): Anggota DPR RI Dapil DIY dari Fraksi NasDem, Subardi (Mbah Bardi) menilai, pernyataan politisi PSI Ade Armando terkait Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai warisan politik dinasti tidak tepat.

Politik dinasti di Jogja kata dia tidak bisa dilihat dari ketiadaan kontestasi politik di level Gubernur. Tetapi, ketiadaan kontestasi politik tersebut merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keistimewaan Jogja.

Dia menuturkan, menurut dua ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 18B UUD 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Bagi Mbah Bardi, pernyataan Ade merupakan ahistoris dan tak mendalam. Tudingan tersebut dinilai berbahaya karena dapat menimbulkan aksi protes dari masyarakat Jogja.

“Dinasti politik di Jogja bentuk pengakuan konstitusi atas keistimewaan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Apa yang disampaikan bung Ade adalah ahistoris dan berbahaya,” kata Subardi dalam keterangannya, Senin (4/12).

Selain pengakuan dari Konstitusi, Yogyakarta juga memiliki Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta yang turut mengakui berbagai keistimewaan Yogyakarta, termasuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak dipilih melalui kontestasi.

Menurut Mbah Bardi, aturan tersebut merupakan penghormatan bagi Yogyakarta atas perannya selama era Kemerdekaan.

“UU Keistimewaan bukan lahir begitu saja. Saya ingat perjuangan merancang undang-undang tersebut bersama seluruh elemen masyarakat. Ini adalah penghormatan Konstitusi kepada Yogyakarta dengan segala aspek historis dan sosiologisnya,” tambah Anggota DPD Wakil DIY periode 2004-2009 itu.

Yogyakarta lanjut Mbah Bardi memiliki peran strategis dalam sejarah kelahiran RI. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang kala itu sebagai Raja Yogyakarta mendukung sepenuhnya Indonesia sebagai Republik.

Dukungan tersebut menurut dua berupa dukungan teritori (sebagai ibu kota sementara) dan dukungan materi (finansial kerajaan yang disumbangkan untuk seluruh operasional negara).

Mbah Bardi menambahkan Yogyakarta menjadi Ibu Kota Indonesia selama dua periode, yakni pada 1946-1948 dan 1949-1950. Selama periode tersebut Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, pusat diplomasi dan militer.

Di masa itu pula, lanjut dia para pejuang melawan Belanda di Yogyakarta. Saat itu RI dalam ancaman Belanda melalui serangkaian agresi militer dan berkat dukungan Yogyakarta, RI berhasil mempertahankan kemerdekaan.

“Yogyakarta eksis sebelum RI terbentuk. Sultan telah berkorban sepenuhnya untuk RI, termasuk dalam masa-masa kritis revolusi. Jadi, tidak perlu mengusik Yogja itu dinasti macam-macam. Tanpa peran Yogyakarta, NKRI tidak akan berdiri saat itu,” tambah Ketua DPW NasDem DIY itu.

Mbah Bardi mengingat kembali catatan resmi Keraton bahwa dua hari setelah proklamasi, Sri Sultan HB IX mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator.

Baca juga: Cerita dari Pencipta Logo NasDem, Begini Filosofinya

Dua minggu setelahnya, pada tanggal 5 September 1945, HB IX bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat bahwa Yogyakarta bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Dengan berbagai fakta sejarah dan pengakuan konstitusi akan gelar “Daerah Istimewa Yogyakarta,” Mbah Bardi pun mendesak Ade Armando meminta maaf atas pernyataan kontroversial itu.

“Kita sadar mungkin Ade Armando sedang akrobat politik. Tetapi pernyataannya fatal. Sebaiknya meminta maaf dan meralat itu,” demikian pungkas dia.

(RO/WH)

Add Comment