a

PLTU Batu Bara Hambat Peralihan ke EBT

PLTU Batu Bara Hambat Peralihan ke EBT

JAKARTA (18 Januari): Banyaknya pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Tanah Air menjadi hambatan pengalihan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT).

“Pembangkit fosil ini menjadi hambatan untuk berkembangnya energi terbarukan, 67% listrik kita dari PLTU batu bara,” ungkap Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto saat menjadi nara sumber di Forum Diskusi Denpasar 12 yang bertajuk ‘Tata Kelola Ketahanan Energi Indonesia Menuju 2045’ secara daring, Rabu (17/1).

Seperti diketahui, pada 2022, sekitar 67% pasokan listrik nasional berasal dari pembakaran PLTU batu bara. Selain itu, pemerintah merencanakan pembangunan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021-2023.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah VII (Banyumas-Cilacap) itu juga menuturkan, ada masalah lain yang harus dihadapi, yakni adanya perbedaan penetapan harga energi fosil dengan pembangkit listrik berbasis EBT. Harga pasokan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) untuk kebutuhan PLTU milik PLN diputuskan tetap sebesar US$70 per ton, lebih kecil dibandingkan harga batu bara global yang berada di atas US$120 per ton. Sedangkan harga pembangkit EBT dilepas ke mekanisme pasar.

“Ada harga khusus batu bara untuk dalam negeri, sehingga harga listrik PLTU amat murah. Energi-energi fosil kita juga diberikan subsidi. Justru yang EBT dilepas ke pasar,” imbuhnya.

Sugeng menjelaskan realisasi produksi batu bara naik dan melebihi dari target yang ditentukan. Di 2022, target produksi batu bara ditetapkan sebesar 663 juta ton, namun realisasinya mencapai 687 juta ton.

“Ini salah satu yang semakin membuat Indonesia sulit melepas ketergantungan dari energi fosil untuk kebutuhan listrik. Namun, pemerintah perlu mengoptimalkan sumber-sumber EBT untuk mempercepat transisi menuju net zero emissions di 2060. Data Kementerian ESDM menyebutkan, ada potensi yang melimpah dan bervariasi dengan kapasitas 3.686 gigawatt (GW),” urai Sugeng.

Potensi itu, imbuh Sugeng, berasal dari energi surya dengan 3.295 GW, lalu hidrogen sebesar 95 GW, bioenergi 57 GW, panas bumi dengan 24 GW, energi bayu atau angin sebesar 155 GW dan laut sebesar 60 GW.

“Potensi energi baru dan terbarukan kita amat besar. Terbesar memang di tenaga surya. Pemerintah bisa merangsang di setiap rumah memasang pembangkit listrik tenaga surya,” ucapnya.

(MI/*)

Add Comment