a

Filosofi Rukun Islam ke Lima adalah Membentuk Personalitas Muslim Pluralis, Moderat dan Toleran

Filosofi Rukun Islam ke Lima adalah Membentuk Personalitas Muslim Pluralis, Moderat dan Toleran

Oleh: Habib Mohsen Alhinduan

Anggota Dewan Pakar Pusat Partai NasDem

 

SEBENTAR lagi umat muslim sedunia akan berlebaran Idul Adha atau Idul Qurban pada 10 Dzulhijjah 1445 dan juga sebagian umat muslim yang berhaji -kurang lebih tiga juta orang- pada 9 Dzulhijjah 1445 akan berwukuf di Padang Arafah, Mekkah.

Rasulullah SAW bersabda “Haji itu adalah wukuf di Arafah” maksudnya bagi yang tidak berwukuf maka tidak sah hajinya.

Filosofis ibadah haji adalah merupakan proses penyempurnaan keislaman seseorang muslim secara totalitas (kaffah).

Menurut Imam Khomeni Ibadah Haji adalah merupakan seorang muslim sedang melakukan mi’raj ruhani, termasuk juga melaksanakan ibadah sholat.

Ibadah Haji wajibnya hanya satu kali saja dalam seumur hidup terutama bagi yang mampu material dan sprituial, jasmaniah dan ruhaniah.

Apabila terdapat seseorang melaksanakan haji lebih dari sekali, hukumnya adalah sunah (tatawwu’), kenyataannya di Indonesia terdapat sebagian umat Islam khususnya di kalangan berduit -apakah ia pedagang, pemerintah maupun penguasa- sering melakukan ibadah haji dengan berkali-kali.

Bagaimana dampaknya bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji lebih dari kewajiban? Apakah disebut sebuah haji rutinitas atau merupakan sebuah tren budaya muslim masa kini?.

Jikalau haji sebagai rutinitas atau trend budaya sebaiknya sedini mungkin untuk direinterpretasi teleologisnya apakah nilai-nilai ibadah Haji memberi pengaruh kepada personalitas pribadinya atau sekedar dijadikan amaliah trending atau kebanggaan tersendiri di hadapan lingkungannya, atau suatu usaha dalam pencapaian terhadap nilai-nilai positif yaitu menjadi seorang yang lebih baik jika melakukan ibadah haji..?

Setiap orang yang berkemampuan, puncaknya adalah mencapai kearifan, ketika mereka bertafakur di halte Arafah. Kearifan yang dimaksud adalah kearifan ritual keagamaan, kearifan sosial- memberikan nilai produkivitasnya dan kearifan spiritual.

Bisakah bagi yang berkemampuan atau yang berduit dalam melaksanakan haji lebih dari satu kali dirubah menjadi satu kali atau uang yang bekelebihan itu akan diarahkan ke persoalan sosial kemasyarakatan?

Memang benar, Ibadah Haji adalah ibadah yang berbeda dibanding dengan ibadah-ibadah lain.

Rangkain dan urutan dalam hadits perintah ibadah haji itu ada pada urutan ke lima setelah ibadah lainnya, seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW tentang rukun-rukun Islam ada lima perkara yaitu:

Pertama mengucapkan ikrar dua Kalimat Syahadat (syahadat tauhid dan syahadat risalah), Kedua mendirikan sholat (lima waktu), Ketiga berpuasa di bulan Ramadhan, Keempat membayar zakat (zakat maal) dan Kelima melaksanakan ibadah haji ke kota Mekkah (bagi yang memenuhi persyaratan).

Hadits itu, menyimpulkan bahwa ada berapa macam ibadah yang terdiri dari ibadah Qouliah (ucapan) dan Qalbiah (niat di dalam kalbu), ibadah Qauliah, Qalbiah dan Fi’liah/Amaliyah (ucapan,niat dan perbuatan), dan Ibadah Qalbiah,Amaliyah dan Maaliah( niat, perbuatan dan harta ), dan Ibadah yang lain yaitu Qalbiah, Qauliah, Fi’liah/Amaliyah dan maaliah.

Melihat urutan dan rangkaian dari hadits itu menyimpulkan bahwa Ibadah Haji adalah ibadah yang terdiri dari ibadah Qalbiyah(niat), Qauliyah (ucapan), Fi’iliyah (perbuatan) dan maaliyah(harta) beberapa unsur nilai-nilai ibadah yang disebutkan di atas memiliki pengaruh positif terhadap pembentukan kepribadian bagi seorang muslim atau meminjam istilah dari seorang motivator USA Dale Carnegie disebut Personality Plus.

Bagaimana Strategi Pengamalan dan Penghayatan nilai-nilai amaliyah ibadah tersebut…

Pengamalan dan Penghayatan terlebih dahulu pemahaman yang benar terhadap Kalimat Syahadatain Tauhid dan Risalah sebagai pondasi utama atau rukun pertama asas bangunan yang kokoh dan berdirinya sebuah struktur bangunan iman dan tauhid terhadap Allah SWT bersih dari syirik (penyekutuan dengan makhluk lainnya), penyerupaan dengan makhluk selain dengan Nya, sifat dan qudratNya baik secara sembunyi atau terang-terangan.

Seorang muslim dituntut mengetahui sifat-sifat yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan terhadap Dzat Allah SWT, sehingga ikrar di saat berdyahadat adalah benar.

Syahadat Risalah adalah asas bangunan selain syahadat tauhid (peng Esaan Tuhan YME) yang merupakan kesempurnaannya terhadap syahadat tauhid artinya bahwa ucapan ikrar terhadap kerasulan dan kenabian Muhammad SAW adalah sebagai utusan Allah SWT semata dan memiliki sifat-sifat kenabian dan kerasulan dan didukung dengan mukjizat-mukjizatnya oleh Allah Swt seperti AlQuranul Kariim sebagai kalamullah, dan juga mengimani bahwa Rasulullah SAW adalah khotamunnabiyyin penutup kerasulan artinya tidak ada Rasul setelah kerasulan-Muhammad SAW dan tidak ada alQuran kecuali alQuran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pengucapan ikrar kalimat syahadatain yang terdiri dari (Qauliyah dan Qalbiyah) itu akan membentuk sikap mandiri dan tujuan yang jelas dan kepribadian yang kuat.

Pondasi ke dua Iqamatussholah (mendirikan ibadah sholat lima waktu), rutinitas amalan sholat ini dilakukan oleh setiap muslim lima kali sehari semalam, amalan terdiri dari niat, bacaan, perbuatan sejak takbiratur ihrom hingga penutupan dengan salam. Sholat adalah perintah wajib dilakukan oleh setiap muslim yang berusia baligh (dewasa) dan tidak ada udzur (halangan) untuk meninggalkannya kecuali dua perkara yaitu lupa dan tertidur.

Pelaksanaan, Pengamalan dan Penghayatan ibadah sholat ini terdiri dari Qauliyah (bacaan), Qalbiyah, Fi’liyah (perbuatan) di saat pelaksanaan sholat dilakukan dengan khusu’ (fokus) ingatannya hanya kepada Allah SWT tanpa dipengaruhi oleh hal ihwal duniawiyah, akan membentuk kepribadian seorang muslim yang positif thinking, mencegah dari pemikiran yang negatif, dan menambah rasa aman, tenang dan tentram.

Pengamalan shalat bila dilakukan secara rutin dengan benar, maka akan berdampak sehat jasmani dan ruhani, bahkan menumbuhkan kepeduliannya terhadap sesamanya melebihi daripada dirinya sendiri.

Menurut para pakar bahwa filosofi Shalat mengungkapkan beberapa makna lain, pertama, shalat sebagai kebaikan (khairu maudhu’in).
Sejatinya, shalat dilaksanakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebaikan ke dalam hati Muslim.

Kedua, shalat sebagai mikrājul mukmin dan muwājahah (titik temu), artinya ibadah ini merupakan kesempatan seorang pecinta untuk bertemu dengan Sang Kekasih.

Ketiga, saktah, shalat memberi “jeda” rutin bagi manusia untuk berhenti sejenak dari segala aktivitas duniawi, demi mengingat tujuan hidup sebagai seorang hamba.

Ditemukan juga manfaat shalat ada sebelas nilai, lima misi, dan dua outcome dari shalat. Sebelas nilai itu berupa kontrol diri, introspektif, disiplin, integritas, loyalitas, rendah hati, istiqomah, penuh syukur, kasih sayang, respectful, serta mindful.

Jika kita perhatikan, sebelas nilai ini diwujudkan melalui berbagai gerakan dan aksi dalam shalat. Misalnya nilai kontrol diri. Allah Swt telah berfirman bahwasanya shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar (Al-Ankabut: 45).

Dalam shalat, kontrol diri ini diinternalisasi melalui “ihram” shalat.

Tak hanya haji yang memiliki ihram, shalat pun demikian. Ihram shalat adalah takbir, ia dimaknai sebagai tahrim, pintu masuk menuju ihram shalat. Artinya, saat melaksanakan ihram shalat, kita perlu mengontrol diri untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan shalat.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu menjaga semangat ihram shalat ini, misalnya dengan hanya mengucapkan dan melakukan hal baik, serta tidak bersikap melampaui batas. Lalu, mengapa banyak orang yang rutin shalat tapi masih tetap melakukan dosa dan maksiat?

Menurut seorang peneliti Irfan Sarhindi, problematika ini bisa disebabkan beberapa alasan, pertama, ia mendirikan shalat hanya sekadar ritual semata, tanpa melihat hubungan vertikal antara Tuhan dan hamba, juga garis horizontal antar sesama manusia yang diwujudkan dengan akhlakul karimah.

Kedua, tidak khusyuk dalam shalat, bisa jadi karena ia tak mengerti apa yang dibaca dan dikerjakan. Sehingga ibadah ini hanya dilaksanakan untuk menggugurkan kewajiban semata, tanpa menghadirkan makna ke dalam hati dan aktualisasi diri.

Ketiga, tidak melihat fungsi dan tujuan kontrol diri dalam shalat. Padahal setiap mendirikan rukun Islam kedua ini, sejatinya kita tengah melatih kemampuan kontrol diri.

Rutinitas lima misi shalat ditegakkan berarti menegakkan tiang agama, bila meninggalkannya berarti merobohkan tiang agama.

Pelaksanaan lima misi shalat berarti menegakkan keadilan, menghadirkan kepatuhan total, mewujudkan perdamaian, memastikan keamanan, serta menjaga kebersamaan/persaudaraan.

Sebagaimana nilai shalat, lima misi ini tersirat dalam berbagai gerakan, bacaan dan aksi shalat, misalnya misi “kepatuhan total” yang diwujudkan melalui sujud.

Sujud dapat dimaknai sebagai penghambaan total dengan sepenuh-penuhnya kepatuhan. Pasalnya, saat bersujud, kita berada di titik terendah.

Meski demikian, gerakan itu justru merupakan momentum terdekat kita dengan Allah SWT. Dalam kehidupan sehari-hari, semangat kepatuhan total ini perlu dilaksanakan dalam semua aspek, tak hanya dalam sujud.

Artinya, jika kita mampu patuh dan taat menjalani perintah Allah SWT dalam segala keadaan, kita juga akan mampu meninggalkan segala larangan-Nya.

Lalu apa outcome dari shalat?

Dari pelaksanaan shalat, sedikitnya kita akan mendapatkan dua manfaat/hasil (outcome), yakni ketenangan hati (muthmainnah) berdasarkan QS Ar-Rad: 28 dan kemenangan atas hawa nafsu di dalam diri, berdasarkan QS al-Mukminun: 1-2.Shalat adalah ekspresi zikir yang apabila dilakukan dapat memunculkan ketenangan hati.

Dalam ibadah lima waktu ini, ketenangan hati diinternalisasikan melalui thuma’ninah (berhenti sejenak) pada setiap rukun shalat.Saat thuma’ninah, kita diajak untuk menghayati setiap doa dan ayat al-Qur’an yang dibaca. Supaya tak hanya lisan yang berucap, tetapi hati pun bisa terbawa khusyuk.

Thuma’ninah ini apabila kita terapkan dalam berbagai aktivitas sehari-hari bisa membuat fikiran fokus dan tenang, sehingga segala aktivitas akan semakin optimal dan efektif.

Selanjutnya aspek kemenagan, Allah SWT berfirman dalam QS al-Mukminun: 1-2, bahwasanya orang-orang yang menang adalah mereka yang khusyuk dalam shalatnya.

Kemenangan ini merupakan keberhasilan melawan nafsu dalam diri. Karena ketika kita mampu melaksanakan shalat dengan khusyuk, sejatinya kita telah menundukkan hawa nafsu, dengan berusaha menghindari segala hal yang dapat membatalkan shalat.

Sebelum terlambat, mari koreksi shalat kita. Apakah hanya sekadar ritual semata? Atau sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya taat? Agar kelak shalat tak lagi diiringi dengan perbuatan maksiat.

Pondasi ke tiga adalah Ibadah Puasa Ramadhan setiap ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT tentunya memiliki folosofi dan makna yang perlu dipahami dan dimengerti.

Sehingga ketika melakukan ibadah tersebut, khususnya puasa Ramadan tidak hanya ikut-ikutan saja. Filosofi puasa Ramadan yang pertama adalah sebagai wujud rasa mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Puasa diwajibkan kepada seluruh umat Islam setelah Allah SWT menerangkan bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang mulia, di mana pada bulan Ramadan inilah Al-Qur’an diturunkan.

Ibadah Puasa adalah ibadah batiniyah menahan lapar dan dahaga sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari (maghrib), puasa Ramadan juga mencakup aspek spiritual yang dapat meningkatkan ibadah, memperdalam pemahaman akan Al-Quran, dan melakukan amal kebajikan.

Dengan menjalankan ibadah puasa secara penuh, umat muslim dapat membersihkan jiwa dan hati mereka dari sifat-sifat negatif, memperkuat hubungan dengan Allah SWT, serta meningkatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.

Filosofi puasa Ramadhan wajib diketahui oleh setiap muslim antara lain hikmahnya yaitu :
Puasa Ramadan mengajarkan umat muslim tentang kesabaran, pengendalian diri, dan peningkatan kesadaran spiritual.

Kesabaran menjadi nilai yang sangat penting dalam menjalani ibadah puasa, karena umat muslim harus mampu meningkatkan kualitas iman serta spiritualitas kita secara keseluruhan.
Ÿ
Meningkatkan rasa syukur terhadap berkah dan karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Meleburkan dosa atas tindakan kesalahan yang terjadi di masa lalu. Menumbuhkan rasa perikemanusiaan serta peduli terhadap kaum yang membutuhkan. Memperkuat ketabahan dalam menghadapi cobaan dan godaan.

Menumbuhkan sikap amanah. Menanamkan sikap jujur dan disiplin. Melatih jiwa untuk mengendalikan hawa nafsu. Memelihara kesehatan jasmani dan rohani memahami filosofi dan hikmah dibalik ibadah puasa Ramadan, umat muslim diharapkan dapat menjalani bulan suci dengan lebih bermakna dan mendalam.

Pondasi ke empat adalah filosofi menunaikan Zakat adalah ibadah maliyah (harta) dan Qalbiyah (niat) dan juga merupakan salah satu ciri sistem ekonomi Islam.

Karena zakat merupakan salah satu implementasi dari prinsip keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Jika kita memahami kembali makna filosofis dari kewajiban zakat, maka kita mengetahui bahwa zakat sebenarnya terdiri dari beberapa aspek: pertimbangan moral dan ekonomi.

Dari segi moral, zakat menguraikan keserakahan dan keserakahan orang kaya. Dari segi ekonomi, zakat mencegah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan didistribusikan sebelum menjadi besar dan sangat berbahaya di tangan pemiliknya.

Para ulama khususnya pakar ilmu zakat berpendapat bahwa zakat disebut zakat karena menyangkut tazkiyah (penyucian) jiwa, harta dan masyarakat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Harta tidak berkurang karena sadaqah (zakat) dan sadaqah (zakat) tidak diperoleh dengan penipuan” (HR. Muslim).

Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan mulai dari hubungan dengan Tuhan hingga hubungan antara manusia dan alam. Dimensi penghambaan yang dibangun oleh islam tidak terbatas pada prisip ketuhanan (teosentris), melainkan juga manifestasi kemanusiaan (antroposentris).

Perhatian islam terkait kemanusiaan digambarkan melalui prinsip, ajaran, atau syariat keislaman.

Hal ini menunjukkan dibalik ritual penghambaan yang disyariatkan dengan kewajiban terdapat makna esetoris beragama yang apabila kita refleksikan dan transformasikan dapat mewujudkan keharmonisan, baik hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manuisa, maupun dengan alam.

Jika dikaji dari secara filosofi, zakat menyangkut tiga aspek. Pertama, aspek tugas manusia sebagai kholifah (QS. Al-Baqoroh: 30) yang harus memimpin dan mengatur tersedianya produksi, distribusi, dan konsumsi bagi makhluk hidup di bumi (QS. Qaf: 7-11; QS. An-Nahl: 69). Dalam konteks ini zakat harus melibatkan pemerintah baik dari segi hukum, anggaran, maupun pembagian.

Aspek kedua, solidaritas sosial. Diharapkan zakat mampu memperkecil gap pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini juga menjadi batas-batas equilibrium proporsional sehingga kekayaan tidak menjadi penyebab kelalaian seseorang beribadah, begitupula kemiskinan tidak menjadi keterpurukan yang dapat menyebabkan seseorang lupa kepada Tuhannya.

Aspek ketiga, cinta dan persaudaraan. Meskipun kemiskinan adalah realitas sosial yang tidak dapat dihapuskan secara mutlak, namun dengan zakat dampak sunnatullah tersebut dapat diminimalisir sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.

Dengan demikian zakat merupakan usaha untuk kembali pada kondisi fitrah sekaligus sebagai bentuk partisipasi dalam membangun kebersamaan sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

Zakat merupakan salah satu ibadah wajib yang menjadi bukti nyata perhatian syariat terhadap hubungan manusia dengan sesamanya.

Pondasi ke lima adalah ibadah haji menurut pakar filosof muslim Dr. Ali Syariati menyatakan bahwa Haji dalam pemahaman syariat merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, tidak memiliki keterbatasan dan tidak dipadankan oleh apapun.

Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan kesempurnaan, kebaikan, keindahan, menuju kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.

Haji bukanlah sekedar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibandingkan sebelumnya. Dan ini adalah kemestian.

Kalau tidak, sebenarnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih! Ibadah haji, bukan sekadar ritual wisata yang hampa makna, haji merupakan sebuah langkah maju menuju ‘pembebasan diri’, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.

Kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya.

Filosofi ibadah haji sebenarnya merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun.

Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta.
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk ‘berkembang’.

Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.

Ibadah haji adalah pengamalan dan penghayatan secara totalitas (kaffah) terhadap ajaran Islam berdasarkan rangkain rukun Islam ke 1 hingga ke 5 dan menciptakan seorang berwawasan kemanusiaan secara universal,pluralis, moderat dan toleransi serta berakhlakul karimah.

Semoga Bermanfaat

Add Comment