Legislator NasDem Soroti Kendala Penyaluran BBM Satu Harga di Wilayah 3T
JAKARTA (10 Februari): Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi NasDem, Gulam Mohamad Sharon, mengapresiasi langkah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam membangun program BBM Satu Harga.
Menurutnya, program itu sangat baik karena memberikan akses BBM dengan harga terjangkau bagi masyarakat di daerah terpencil atau remote area.
“Saya mengapresiasi langkah BPH Migas yang telah banyak membangun program BBM Satu Harga. Ini adalah program yang sangat baik karena membantu daerah-daerah terpencil mendapatkan akses BBM dengan harga terjangkau,” ujar Gulam Mohamad Sharon, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR dengan BPH Migas di Jakarta, Senin (10/02/2025).
Namun, ia juga menyoroti beberapa kendala dalam implementasi program itu, terutama dalam pembangunan fasilitas BBM di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Menurutnya, proses pembangunan fasilitas memerlukan standar keamanan tinggi, yang menyebabkan waktu penyelesaiannya cukup lama. Bahkan setelah izin terbit, fasilitas tersebut masih membutuhkan waktu hingga satu tahun sebelum dapat beroperasi.
“Saya sempat berdiskusi dengan pihak Pertamina terkait hal ini. Di Dubai, sistem penyaluran BBM menggunakan mobil tangki sehingga setelah izin terbit, BBM bisa segera disalurkan. Saya ingin menanyakan apakah ada solusi agar setelah izin di wilayah 3T terbit, BBM dapat segera disalurkan dalam waktu satu bulan?” tambahnya.
Legislator NasDem dari Dapil Kalimantan Barat II itu juga menyoroti pentingnya sosialisasi kepada aparat penegak hukum, terutama kepolisian. Menurutnya, ada beberapa kasus di mana solar yang disalahgunakan memang wajar ditindak, tetapi untuk pertalite, situasinya berbeda.
Ia menekankan bahwa masyarakat di daerah terpencil sering menggunakan pertalite untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak mungkin menempuh jarak 10-20 kilometer hanya untuk membeli 5 atau 10 liter pertalite di SPBU resmi.
“Saya rasa perlu ada solusi agar distribusi BBM bagi masyarakat lebih mudah dan cepat. Hal ini penting agar masyarakat tidak kesulitan mendapatkan BBM yang mereka butuhkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa saat bertemu dengan GM Pertamina Kalimantan Barat, ada visi agar BPH Migas atau Pertamina lebih dulu menentukan titik-titik lokasi lembaga penyalur BBM. Dengan pemetaan itu, pengusaha tidak perlu mengalami kesulitan dalam mencari lokasi yang tepat untuk berinvestasi, sehingga proses distribusi bisa lebih efektif.
“Dengan pemetaan yang lebih awal, pengusaha akan lebih mudah berinvestasi di sektor ini. Ini tentu bisa mempercepat distribusi BBM ke daerah-daerah yang membutuhkan,” tambahnya.
Selain itu, Gulam juga menyoroti biaya pembangunan fasilitas BBM di wilayah 3T yang bisa mencapai dua miliar rupiah jika mengikuti standar Pertamina. Dengan kuota yang kecil, para pengusaha mengalami kesulitan untuk mencapai titik impas atau balik modal. Oleh karena itu, ia mempertanyakan apakah ada langkah solutif untuk penyaluran BBM bersubsidi di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
“Saya ingin menanyakan apakah ada solusi terkait biaya pembangunan fasilitas BBM di wilayah 3T yang tinggi? Dengan kuota kecil, pengusaha sulit mencapai titik impas. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri yang perlu mendapat perhatian,” pungkasnya.
(FM/Yudis/*)